Kamis, 08 Januari 2015

Rinduku

Selamat pagi Dunia, selamat pagi wahai adindaku. 16 hari sudah diriku mengijak dunia rantau, berbagai letih, air mata , serta rindu kampung halam tak terbendung lagi, andaikan diriku di berikan kesempatan, aku hanya ingin waktu antara Manado dan Bogor di persatukan agar tak ada lagi yang namanya keletihan dalam melepas rindu, tapi apa daya diriku hanyalah manusia biasa yang tak kuasa akan waktu aku hanya bisa berdoa bersama waktu berharap dia datang bersama dengan saat yang kutunggu. Ingin rasanya berbincang bersamamu di warung kopi bersama hembusan angin itu, ingin rasanya menghirup udara yang sama dengan udara yang engkau hirup bersama rindu, ohhh Langit apa arti dari pada rindu, bisakah seorang Khalil Djibran mengambil sejilid buku tentang tafsir rindu bisakah Jalaludin Rumi menafsirkan apa itu rindu. Sungguh aku pun tak pernah tau apa arti rindu, semua telinga ingin mendengarkan tafsiranku tentang makna rindu jawabku singkat. “Engkau akan berbicara dalam hati bersama hembusan angin serta menitihkan air mata, engkau merasa seakan ruhnya menjelma bersama angin ketika engkau berbicara bersama tetesan air matamu serasa saat itu ia telah mengecupmu, seolah ia telah memelukmu dari kejauhan. Ohh rindu hanya air mata yang mampu menafsirkan. Dada pun mulai sesak, mata pun mulai menghampa. Di lorong-lorong sekolah ku temukan setitik senyumanmu di sana, tapi kita tak ada lagi senyuman itu, kini fatamorganalah yang mengantarkanku ke sana tersenyum sendiri membayangkan itu. Saat itu memang aku merantau, saat itu diriku tak bisa membuatmu tersenyum di pagi hari, hari ini engkau hanya bisa bercumbu dengan bayangku, hari ini engkau hanya akan menitihkan air mata melihat mereka bergandengan bersama. Tapi sesungguhnya hati berjanji sepenuh hati, tahukah kamu hati senantiasa berontak bersama rindu, tapi apalah daya wahai adinda aku tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa segagah mereka. Tapi ingatlah suatu saat jika kesuksesan telah menjemputku, maka 1 hal yang tak ku lupakan, yakni orang yang senantiasa bersama ku di kalah susah dan rindu. Tahukah kamu sekeras apapun perjuanganku, sekeras apapun diriku, secuek apapun parasku, sungguh aku tak pernah melupakan orang yang senantiasa  menyayangimu, meski hubungan ini hanyah sebesar biji jagung saja, tapi semoga hati ini bisa setinggi Kelapa di tepi pantai itu adinda. Tunggulah aku di seberang sana, temuilah aku di kalah engkau lelah, letih dan tak lagi bertepi sedih. Sungguh aku akan tetap di sini bersama angin yang akan menjadi sahabat sejati. Ingat!! tunggulah aku di sebrang sana oh adinda, aku tak ingin berjanji tinggi saat ini. Biarlah hati yang akan menjadi ruang rahasianya. Aku menunggu di hembusan angin selanjutnya, kapan lagi kita akan bertemu meski hanya sekilas engkau tersenyum kapan lagi kita akan bernyanyi ria bersama. Sungguh tatapanmu membasuh luka ini.

                                                                                                                                                
Bogor 24-08-2014


                                                                                                                                               
  Bang Hunta