Seiring berkembangnya zaman, muncul berbagai
pemikiran politik. Terhitung dimulai sejak di utusnnya Rasulullah oleh Allah SWT untuk mengemban
amanah dalam membangun masyarakat Mekah dan Medinah, dan secara makro konsep
Allah SWT mengutus Rasulullah dalam membawa misi dan kerisalahan yang agung
yakni kesempurnaan iman dan amal. Gejolak dalam islam telah lahir semanjak
Rasulullah meninggal,
mengutip dalam buku Harun Nasution: “ sepeninggalnya Rasulullah, terjadi berbagai
gejola politik. Di karenakan Rasulullah di utus untuk membawah risalah agama,
Rasulullah tidak pernah menerima ataupun membukukan sebuah tatanan politik
islam. Sepeninggalnya Rasulullah terjadi berbagai gejolak, di karenakan
Rasulullah SAW tidak meninggal secara detail tatanan itu, para sahabat hanya
belajar dari Rasulullah SAW dari segi spitualnya saja namun secara konsep
kepemimpinan tak pernah rasulullah ajarkan secara detail”.
Pendapat Harun
Nasution bisa di pertimbangkan, bahwa di zaman Rasulullah SAW, telah terjadi
politik sebenarnya, namun Rasulullah SAW lebih menampakan wahyu Ilahia,
Rasullah SAW hanyalah seorang tunggal yang tau bagaiamana cara memimpin negara,
para sahabat ketika Rasulullah telah tiada, sahabat menjadi bingung dalam
meneruskan kepemimpinanya, di karenakan tak ada sebuah acuan yang jelas. Di
masa transisi politik inilah yang membuat islam bergejolak dengan hebat.
Terbukti ketika Zaman Abu Baqar banyak pihak yang kecewa karena kepemimpinannya
karena seharusnya yang terpilih adalah Ali Bin Abi Thalib, begitu pun dengan
zaman Utsman Bin Afwan,, di mana para pembrontak menyerangnya sehingga membuat
utsman terbunuh begitu pun di zaman Ali.
Setelah transisi dan penyesuaian diri ini telah
berjalan, maka masuklah di zaman yazid sampai runtuhnya dinasti Ottoman.
Menandakan berakhirnya kejayaan islam. Islam telah melalui beberapa konsep
politik, mulai dari Khalifa, Monarki dan Monarki Absolut. Seiring berkembangnya
konsep ini, pertanda islam semakin memperbaiki konsep politiknya. Monarkilah
yang lebih banyak terjadi dalam kejayaan islam, tercatat 3 Dinasti memilih
system perpolitikan Monarki untuk menjalankan roda pemerintahannya.
Point yang perlu diingat dalam konsep perpolitikan
bahwa, Islam memang tidak mempunyai perpolitikan yang jelas dan lugas dalam
pembahasannya. Namun sejarah, dan penerapan Syariatlah yang menjadi referensi
para ulama untuk menafsirkan konsep perpolitikan di islam, namun bukan berarti
berdirinya syariat lantas kita harus mengobarkan bendera setingginya-tingganya
dan mengatakan bahwa hidup Negara Khalifa. Muhammad Abduh dan Al-Afghani
berpendapat bahwa:
“rakyat berhak
menentukan system perpolitikan apa yang harus di adopsi, rakyat di berikan
kebebesan dalam berpikiran dan menimbang”.
Dari sinilah bisa kita ambil
kesimpulan, bahwa: Apapun system politik dalam madhzab pemikiran kita, apapun
penerapan system politik yang ada dalam bangsa kita, kita tetap harus
menghargainya, kita tetap harus mematuhinya.
Di zaman Rasulullah juga tidak
secara sistimatis membahas konsep politik karena tujuan Rasulullah adalah mengasa
Akhlak kita. Yang terpenting adalah bagaiaman sebuah system pemerintahan yang
pro terhadapa kepentingan rakyat, tidak berpihak dalam kepetingan agama dan
melidungi hak dan kebebasan dalam beragama, maka saya yakin itulah sesungguhnya
sebuah system perpolitikan ala Khalifa, terbukti ketika Sultan Mehmed II
memimpin, menerap system rahmatan lil alamin, meski saat itu system monarki
yang di terapkan namun secara substansial bahwa beliau telah menerapkan secara
bijak sebuah makna yang Rasulullah maksud bukan tetang system secara sempurna
harus seperti zaman Rasulullah, namun substansi relevan dengan zaman tanpa
menggangu kebebesan beragama.