Selasa, 31 Maret 2015

Sistem Khalifa Substansial



Seiring berkembangnya zaman, muncul berbagai pemikiran politik. Terhitung dimulai sejak di utusnnya  Rasulullah oleh Allah SWT untuk mengemban amanah dalam membangun masyarakat Mekah dan Medinah, dan secara makro konsep Allah SWT mengutus Rasulullah dalam membawa misi dan kerisalahan yang agung yakni kesempurnaan iman dan amal. Gejolak dalam islam telah lahir semanjak Rasulullah meninggal, 

mengutip dalam buku Harun Nasution: “ sepeninggalnya Rasulullah, terjadi berbagai gejola politik. Di karenakan Rasulullah di utus untuk membawah risalah agama, Rasulullah tidak pernah menerima ataupun membukukan sebuah tatanan politik islam. Sepeninggalnya Rasulullah terjadi berbagai gejolak, di karenakan Rasulullah SAW tidak meninggal secara detail tatanan itu, para sahabat hanya belajar dari Rasulullah SAW dari segi spitualnya saja namun secara konsep kepemimpinan tak pernah rasulullah ajarkan secara detail”. 

 Pendapat Harun Nasution bisa di pertimbangkan, bahwa di zaman Rasulullah SAW, telah terjadi politik sebenarnya, namun Rasulullah SAW lebih menampakan wahyu Ilahia, Rasullah SAW hanyalah seorang tunggal yang tau bagaiamana cara memimpin negara, para sahabat ketika Rasulullah telah tiada, sahabat menjadi bingung dalam meneruskan kepemimpinanya, di karenakan tak ada sebuah acuan yang jelas. Di masa transisi politik inilah yang membuat islam bergejolak dengan hebat. Terbukti ketika Zaman Abu Baqar banyak pihak yang kecewa karena kepemimpinannya karena seharusnya yang terpilih adalah Ali Bin Abi Thalib, begitu pun dengan zaman Utsman Bin Afwan,, di mana para pembrontak menyerangnya sehingga membuat utsman terbunuh begitu pun di zaman Ali.

Setelah transisi dan penyesuaian diri ini telah berjalan, maka masuklah di zaman yazid sampai runtuhnya dinasti Ottoman. Menandakan berakhirnya kejayaan islam. Islam telah melalui beberapa konsep politik, mulai dari Khalifa, Monarki dan Monarki Absolut. Seiring berkembangnya konsep ini, pertanda islam semakin memperbaiki konsep politiknya. Monarkilah yang lebih banyak terjadi dalam kejayaan islam, tercatat 3 Dinasti memilih system perpolitikan Monarki untuk menjalankan roda pemerintahannya. 


Point yang perlu diingat dalam konsep perpolitikan bahwa, Islam memang tidak mempunyai perpolitikan yang jelas dan lugas dalam pembahasannya. Namun sejarah, dan penerapan Syariatlah yang menjadi referensi para ulama untuk menafsirkan konsep perpolitikan di islam, namun bukan berarti berdirinya syariat lantas kita harus mengobarkan bendera setingginya-tingganya dan mengatakan bahwa hidup Negara Khalifa. Muhammad Abduh dan Al-Afghani berpendapat bahwa:

 “rakyat berhak menentukan system perpolitikan apa yang harus di adopsi, rakyat di berikan kebebesan dalam berpikiran dan menimbang”.  
 
Dari sinilah bisa kita ambil kesimpulan, bahwa: Apapun system politik dalam madhzab pemikiran kita, apapun penerapan system politik yang ada dalam bangsa kita, kita tetap harus menghargainya, kita tetap harus mematuhinya. 

Di zaman Rasulullah juga tidak secara sistimatis membahas konsep politik karena tujuan Rasulullah adalah mengasa Akhlak kita. Yang terpenting adalah bagaiaman sebuah system pemerintahan yang pro terhadapa kepentingan rakyat, tidak berpihak dalam kepetingan agama dan melidungi hak dan kebebasan dalam beragama, maka saya yakin itulah sesungguhnya sebuah system perpolitikan ala Khalifa, terbukti ketika Sultan Mehmed II memimpin, menerap system rahmatan lil alamin, meski saat itu system monarki yang di terapkan namun secara substansial bahwa beliau telah menerapkan secara bijak sebuah makna yang Rasulullah maksud bukan tetang system secara sempurna harus seperti zaman Rasulullah, namun substansi relevan dengan zaman tanpa menggangu kebebesan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar