Membahas dunia tanpa batas dan makna, menciptakan cerita dan
hampa. Terbangun pagi dengan suara hiruk pikuk kota metropolitan, di
remang-remang angin bertebaran debu terfokus wajahmu, wajah yang selama ini ku
rindu. Ku terka debu-debu ini dengan lembut. Berlari terus menerus di antara
kerumunan manusia. Kemacetan tak bisa menghalangi imajinasiku yang akan ku
pastikan menjadi sebuah kenyataan.
Terus ku kejar bayanganmu, di ributnya klakson, masih ada
bayanganmu yang terus ku tunggu. Berlari sekencang-kencangnya sampai dada tak
lagi mampu memompa . Putus hati ini, remuk jatung dan seluruh pengharapanku
padamu, berharap bayangamu masih terus melukis di atara debu-debu yang ku terka
dengan lembut itu?. Namun…., engkau tak lagi di sana, perlahan pahatan debu
berlukis wajahmu hilang.
Hujan turun, membasahi lukisan wajahmu yang berkanvas pada
debu, wajahmu lebur bersama tetesan hujan. Hanya genggaman lumpur yang bisa ku
genggam, tak ada lagi lukisan wajahmu yang ku kejar dengan berlari.
Mana wajah itu, di mana tatapan menggodamu yang membuatku
mengejar, mana binar-binar matamu yang memberikan janji, senyumanmu yang
menjanjikan padaku kesejahtraan rohani pada setiap kegetiran ini, mana kepakan
rambut itu yang memberikan ku harap-harapan baru bahwa akan ada hidup yang lebih
mulia.
Aku terus bertanya-tanya sedalam samudra, mengapa kecantikan
berbalut anggun pergi begitu saja, setega itukah hujan menghapus pengharapanku,
setega itukah hujan yang memakzulkan maknaku mengejarmu. Berharap di setiap
tatapan manismu itu bukanlah pencitraan buta, ku harapan setiap tatapan itu ada
suapan bahagia yang engkau hantarkan menuju perutku.
Tangisan anak-anak di pelosok bangsa, hanya engkau balas
dengan senyuman. Sungguh, aku tak pernah kenyang dengan itu, berharap bukanlah
pencitraanmu yang membuatku mengejar debu-debu berbalut wajahmu, berharap bukan
senyumanmulah yang membuatku bertahan dengan indah.
Banyak hal yang ingin ku sampaikan padamu, bangsa ini telah
merengis kesakitan, terlalu banyak obat merah yang di teteskan kepada kami
sehingga luka ini telah membusuk dan bernanah, terlalu banyak balut kain kasa
pada setiap tangis luka kami. Aku menunggu engkau dengan tatapan di sela-sela
mataku bukan hanya senyum buta ataupun kelicikan yang engkau buat-buat di depan
mereka bukan!, aku hanya menunggu sesuap kebahagiaan, tak muluk-muluk tak pula
bertingkat-tingkat permintaan kami, hanya dengarlah wahai pemimpin kami. Kami ingin
merasa seperti layaknya manusia, kami ingin bahagia seperti tertera dalam
bait-bait sang Bhineka, kami ingin tersenyum bersama ketika membaca pembukaan
UUD, kami ingin melayang jauh melintasi samudra hidup yang penuh canda tawa
lepas bersama Garuda Pancasila.
Tak banyak yang kami minta darimu wahai peminpin kami, tak
banyak yang kami tuntut darimu, hanya secercah bahagia bersama filsafat bangsa
ini, hanya ingin engkau yang menjadi selimut kami ketika badai dingin melanda
bangsa ini, hanya ingin agar dirimu mejadi cahaya kami ketika padam sudah
harapan kita, hanya ingin engkaulah yang mengusap kemiskinan kami dengan
kebijakan bukan kebejatan, hanya ingin agar dirimu hidup sebagai jati dirimu
bukan mereka, hanya ingin agar dirimu hidup bersama nafas falsafah kami bukan
falsafah mereka, hanya ingin agar hujan itu membersihkan luka kami bukan
menghapus janjimu bukan juga menghapus dasar hatimu.
hanya satu pesan kami wahai Bapak Presiden. Hiduplah bersama
jati dirimu bukan jati diri mereka
TTD
Merindukan
dirimu yang dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar