Dialah Fatih
pemuda yang telah di tinggal mati 18 tahun
semenjak di tinggal mati Ayahnnya. Dengan perangai brewokan, tinggi tegap,
penuh senyum dan misterius pada raut wajahnya, tenang serta anggun dalam
berkata- kata, gaya berajalan yang sama persis mengikuti Ayahnya dengan alunan
kaki tegap dan pandang fokus kedepan sebagai tanda tatapan pemimpin, alis tebal
seperti Ibunya Aisyah dan hidung yang proporsional tak tinggi juga tidaklah
pesek. Pria yang pintar berkuda, gulat dan memanah. Di besarkan tanpa bimbingan
Ayahnya Fatih meninggalkan Ibunya semenjak umur 5 tahun untuk merantau ke
Al-Hamra belajar ilmu agama 13 tahun lamanya, dan hari ini hari Fatih kembali ke kampung halamannya yang
pernah membuatnya trauma akan kejadian bersejarah. Berbeda dan justru tak
seoptimal anak-anak lainnya yang di besarkan dengan pembinaan Ayah, Fatih tetap
dan merasakan aura gen Ayahnya turun kepadanya.
Di umurnya yang ke-18 Fatih mengambil
keputusan untuk pulang melepas rindu bersama Ibunda tercinta. Setelah 13 tahun
lamanya Ibunya tak melihat Fatih tersenyum ria bermain di halaman rumah,
memanggil-manggil ibu untuk mengadukan setiap sakit ketika jatuh saat bermain,
mengeluhkan teman-teman masa kecil yang sering jail ketika bermain. Masa itu
kini telah pergi, Ibundanya seakan menangis melihat Fatih memasuki halaman rumah untuk 13 tahun lamanya tak
bersamanya. Memangis Ibunda ketika memeluk Fatih, mengusap keringat kelelahan
13 tahun di rantauan, kerinduan Ibunda kepada Fatih seakan mengusap semua rindu
kepada kepada adik Fatih Fadli dan suami tercinta.
Wajah Fatih membawah ibunda melalang buana kepada masa lalu pembrontakan yang luar biasa, dan kini anaknya tercinta Fatih telah tumbuh tinggi dan besar, suara riang kecilnya dulu seakan tak lagi bisa menjadi nostalgia ibunda untuk mengingatnya. Fatih hanya bisa menangis dan memeluk ibunda dengan seerat eratnya berharap ini bukanlah pelukan terakhirnya.
Waktu seolah menggoreskan pahatan keriput pada wajah ibunda, rambut yang kian memutih pertanda bahwa umur tak lagi muda, tulang pun kian membungkuk menghadap tanah, 13 tahun rasanya cukup lama menghabiskan masa anak-anak yang riang gembir tanpa perhatian ibunda, Fatih pun mengecup jidat ibunda yang telah keriput itu sambil bertebaran air mata bahagia pelukan ibu pun semakin erat di rasa. Perlahan pelukan itu mulai longgar rasanya, Fatih pun mengusap air mata Ibunda dan berkata:
Wajah Fatih membawah ibunda melalang buana kepada masa lalu pembrontakan yang luar biasa, dan kini anaknya tercinta Fatih telah tumbuh tinggi dan besar, suara riang kecilnya dulu seakan tak lagi bisa menjadi nostalgia ibunda untuk mengingatnya. Fatih hanya bisa menangis dan memeluk ibunda dengan seerat eratnya berharap ini bukanlah pelukan terakhirnya.
Waktu seolah menggoreskan pahatan keriput pada wajah ibunda, rambut yang kian memutih pertanda bahwa umur tak lagi muda, tulang pun kian membungkuk menghadap tanah, 13 tahun rasanya cukup lama menghabiskan masa anak-anak yang riang gembir tanpa perhatian ibunda, Fatih pun mengecup jidat ibunda yang telah keriput itu sambil bertebaran air mata bahagia pelukan ibu pun semakin erat di rasa. Perlahan pelukan itu mulai longgar rasanya, Fatih pun mengusap air mata Ibunda dan berkata:
“Wahai
semangat juangku, aku tak mati jika Tazkia belumlah merdeka dari seraka, taakan ku sia-siakan air
matamu bunda tanpa kehormatan yang ku bawah nanti, ku pastikan nisanmu akan
dikenang karena telah melahirkan anak hebat sepertiku”.
Pertemuan haru itu seakan ikrar pertama Fatih
kepada Ibunda, anak 5 tahun pun mampu
berikrar bijak ketika perpisahan 13 tahun lamanya, dan hari ini Fatih berikrar
kepada Ibunda bahwa Fatih akan meneruskan perjuagan Ayahnya, perjuangan
Ayahnnya yang mati terbunuh oleh kejamnya Hamdan Manaf, memenggal kepala untuk
membalaskan semua sakit hati. Fatih tetaplah Fatih, tetap fokus seperti
padangannya kedepan menghadap jalan tujuan hidupnya. Mati hari ini dan besok
pun tak ada bedanya, hanya kehormatanlah yang membuatnya bernyawa penuh harga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar