Di pagi itu,
termenenung sendu hati mentap pilu langit. Melihat setiap jingkratan kaki
menuju masjid subhu itu. Meminta ampun, memohon kepada Tuhan, kalau-kalau
kehidupan masih terus terlanjutkan dengan segudang izin.
Kita sibuk menghiasi hidup dengan semua kesibukan, kita
sibuk mempersiapkan masa tua sampai lupa bahwa besok mungkin ajal akan segera
mengetuk pintu rumah kita.
Hidup kadang tak seadil yang terkonsepkan, ketika sebuah
ekspedisi mencari jati diri, mencari tujuan mengapa kita di lahirkan?, mencari
setiap laci-laci buku berharap akan engkau temukan secercah maksud hati dan
bertanya: “Mengapa saya dilahirkan”. Mencari setiap guru, bertanya tentang
maksud hati mengapa kita di lahirkan?. Sekeluarnya di kelas, engkau seperti
sebuah kera yang senang dan bahagia melompat-lompat kerena telah menemukan
jawaban atas setiap pertanyaan selama ini.
Aku pun mentapa wajahmu, wajah yang mencari jati diri, wajah
yang ingin tau akan setiap pertanyaan yang muncul. Aku pun menatap senyumanmu
yang lihai, bibirmu tipis, menatap jidatku yang terpenuhi cahaya keringat. Engkau
masih menatapku lagi pada tatapan kedua di ruangan itu, jarak kita semakin dekat
bahkan angin tak mampu membatasi jarak kita yang semakin mendekat. Matamu menatap ringkas dan
tegas padaku, tak tau dosa apa yang terjadi di ruangan penuh laci-laci ilmu
ini, engkau seperti menatapku menggoda, memaikan mata, menari-narikan bibirmu. Masih
terus engkau mentapku dengan tatap itu, di langkah kakiku selanjutnya
wewangianmu tercium rapat di hidungku, semerbak jasmine.
Dan hal terjadi, wajah kita tinggal berbatas angin, tinggal angin
yang membatasi kedua tatapan mata kita. Aku pun terdiam seribu bahasa dengan
tatapn menggodamu, sekira-kiranya keilmiahaanmu telah cacat, keilmiahaanmu
telah terperkosa dengan itu, aku bingung sedetik setelah tatapan ini, apakah
yang akan berkelanjutan?, apakah ini,
itu, dan sebagainya.. aku tak tau, tapi ku pastikan sebelum detik
selanjutnya berpindah maka satu hal yang
ingin ku katakana.
“Jika seandainya, ini
persitiwa Yusuf dan Julaiha kontemporer, maka boleh ku bertanya satu?. Jika ini
terjadi maka aku bukanlah seorang Yusuf, melainkan Giacomo Girolamo Casanova de Seingalt, yang memperkosa adiknya dan kakaknya
sendiri, maka aku hanya bisa membelai wajahmu dan berkata: “ Semoga kesucianmu
tak akan pernah di perkosa sehingga akulah satu-satunya pria yang menjadi cinta”
“Terperkosa”
Bang Hunta, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar