Senin, 23 Maret 2015

Tak ingin jadi "Hambamu"

Masih ada tatap rindu itu, menarih merdu dengan tarian sendu. Aku tak tau bagaimana cara agar ku lukiskan kemerduan ini hanya berlambangkan sendu. Tak tau mengapa tatapan ini seolah seperti mendung termenung. Aku bingung mengapa gerangan, mengapa diri ini merasa letih dan tertatih.
Bertanya-tanya segudang Tanya, kepada hati. Berharap hanyalah hati yang memiliki jawaban yang nyata, tapi menurutku tidak, menurutku hati tak akan dapat menjawab bersama logika, sungguh logika tak dapat beromantis ria dengan hati, sungguh dunia ini telah lama dihancurkan dengan kedok ilmiah yang menyimpan seribu dengki.

Mari kita kaji, sungguh hati, akal, dan kata tak pernah sama dengan  ucapan. Adakah sebangsat itu?, bagaimana cara kita menyatukan keselarasan bahwa hati akan selaras rupa dengan akal ataupun perkataan akan menjadi pribadi jujur dalam mengantarkan seseaji kesimpulan itu?

Sungguh hidup ini, telah dihancurkan dengan ketidak seimbangan yang kita hancurkan. Sungguh telah lama neraca keseimbangan hidup telah pergi, sungguh telah lama neraca tulus lenyap di muka bumi ini. Mungkinkah kita menuntut pada seberkas gagasan bijak raja? “menurutk raja akan meludahi kita, karna kerakusannya akan di hancurkan dengan  sebuah idealis.

Sungguh Bumi ini,telah lama di lenyapkan dengan penghuninya, kita hanya akan bangga dengan  beribu teknologi dan kecangihan, kita bangga bahwa banyak yang telah berevolusi di bumi, kita bahkan akan menepuk dada bangga bahwa kita lahir di zaman yang tak pernah ada sebelumnya, kita bangga menjunjung teori-teori, kita bangga dengan beribu madzab yang membuat kita tega menghakimi pendudukan selain kita, kita sibuk menumpuk harta, tapi lupa bagaimana membuat harta itu tersenyum, kita sibuk membuat karir kita bekerja dengan bijak sampai-sampai kita lupa telah banyak orang yang kita sikut. Kita terlalu sibuk mencari kesuksesan sampai kita lupa bahwa kegagalan juga akan bersemayam, kita terlalu sibuk memotivasi diri bahwa kaya itu perlu, kita terlalu sibuk memotivasi diri bahwa hidup layak itu perlu, kita terlalu sibuk menjaga orang-orang yang kita tapi melupakan tangisan bengik anak-anak itu yang terluka para oleh jalan raya.

Mungkin jika suatu saat nanti, pengamen bengis, dengan denyut-denyut rencehan pada kantongnya, dengan bau dekil dan compang-camping akan berkata melalui tatapan senduhnya: “Jika suatu saat kalian hampir menjadi Tuhan, jangalah lupa bahwa…….

“Kami tak pernah menjadi hambamu”



    Bogor, 23-Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar