Selamat
Jalan Ibu
Sastrwan berpencar di mana-mana ketika titah
raja telah menjadi hukum, kematian keluarga menjadi ancaman bagi mereka. Fatih
kembali menunda semua kesibukannya dalam menerbitkan karya-karya, Fatih memilih
untuk bertahan di rumah dalam waktu cukup lama untuk menengangkan kondisi
kerajaan yang sedang membersihkan kembali nama mereka yang dirusak melalui
karya Fatih dan teman-temannya.
Hari itu di kala hujan deras turun membasahi
Negeri Tazkia, rerumputan di halaman rumah yang gersang hampir sebulan lamanya
seakan kembali bugar, katak-katak pun menari ria ketika dahaga mereka terpenui
jua, pepohonan seolah tersenyum gembira tatkala hujan tiba. Dengan perut yang
berdendang pertanda lapar, Ibunda tercinta dengan payung menutupi kepala
berjalan menuju rumah sambil membawah
rantang makan, Ibunda pun mengetuk pintuk dan masuk rumah menghadrikan makanan kesukaanku di kala hujan yaitu sop Ayam,
sungguh lezatnya sop itu mengingatkanku pada masa kecilku ketika sakit demam
menerjang Ibu memberikan aku sop untuk menyembuhkan sakitku. Tapi apakah hari
ini telah ku temukan peneduh di kala sakit jika nanti Ibunda telah tiada,
apakah penawar terbaik untuk tetap membuat tersenyum meski di ancam untuk di
bunuh, masih adakah wanita yang tetap setia memberikanku asupan pelukan di kala
hujan tiba, adakah wanita hebat yang mampu membuatku tetap tersenyum di kala
dia telah pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.
Sambil menatap sop Ayam dengan perenungan
panjang, Ibunda tercinta dengan pekanya membaca raut wajahku yang begitu keras
berpikir, Ibunda seolah tau bahwa anaknya sedang merenungi masa depannya, masa
depannya cintanya masa depan bahagianya.
Ibu: apa yang engkau pikirkan wahai lelaki
jagoan Ibu
Fatih: tak ada Bu, sedang menganalisa saja
apakah sopnya kurang garam atau tidak
Ibu: anaku, anaku Ibu telah lama bersamamu Ibu
tau jikalau engkau berpikir kening kiri dan kananmu bertemu, raut wajahmu telah
Ibu mengerti bahwa engkau sedang berpikir.
Fatih: Aku hanya berpikir jikalau Ibunda mati
nanti, siapakah wanita selain Ibu yang mampu membuatku tetap terseyum sampai
nyawa tak lagi bertinta.
Ibunda beranjak meninggal pembicaraan dan mengambil sesuatu yang
berada di dalam kamar
“ Nak
ini adalah pena keturunan dari keluarga kita, di jaman Tazkia ketika berjaya
Buyut kita adalah seorang sastrawan termasyur saat itu, bahkan ketika para raja
terluka hatinya, hanya dibutuhkan syair satu baris dari kakekmu cukup untuk
membuat mereka tersenyum kembali, pergilah ke perpustakan Al-Hamra makaa akan
engkau temui syair-syair perang dan cinta-cinta tauhida Buyutmu, tak banyak
orang tau siapa kakekmu, tapi yang jelas para Intelk dan satrawan tau siapa
kakek buyutmu itu, dan tahukahkanmu,Ayahmu bukanlah seorang yang kaya, Ayahmu
adalah seorang pengusaha akan tetapi pemikiran sastra lebih tajam dari pada
profesinya, karena dalam diri Ayahmu mengalir jiwa sastra, karena sungguh
kakekmu telah menulis doa ketika perang merebut Benua ini hendak dimulai dia ingin meski kakekmu itu telah meninggal ia
berharap dalam doanya agar darah sastrawan dan intelk mengalir dan terwariskan
kepada generasi selanjutnya. Dan tahukah kamu mengapa Ibu tetap mencintai
Ayahmu, mengapa meski Ayah telah tiada ketika Ibu dalam kesakitan yang pahit
ini karena Bapakmu melamar ibu dengan mahar pena Warisan kakeknya, dengan pena
ini pertanda bahwa Ayahmu penuh kesungguhan dan yakin didalamnya terwariskan
jiwa sastra itu, Ibu yakin sayap-sayap cinta saat ini telah di patahkan dengan
kematian Ayahmu. jika di tanya apa mahar termahal yang bisa engkau wariskan,
katakan pena ini, jangan pernah jelaskan sejarah pena ini, jika pena itu cukup
bernyawa cinta, maka calon Isterimu akan merasakan nyawa sejarah itu. Tapi
bunda, jawab Fatih, dengan senyuman itu bunda pun meyakinkan keraguan Fatih”.
Ibunda Bunda terduduk di lemah dan pucat di
bangku itu dan berkata: Hanya Isterilah
yang akan menjadi pengganti Ibu selanjutnya, jika dia mencintaimu maka nyawa
Ibu akan menyatu denganya, jika pena ini cukup membuat terpana tanpa sejarah
yang engkau sampai maka dialah jodohmu.
Dan hari yang begitu bersejarah, Ibunda pun
tergelatak jatuh dengan mulut yang berbusa-busa, Ibu terjatuh dari bangku yang ia duduki, dengan badan yang tergeletak
lemah dan kejang-kejang di tubuhnya seperti ayam yang hendak berontak ketika di
sembelih. Fatih menatap dengan sedih sambil menaruh kepala Ibunda di pahanya,
Fatih tak besuara lebih seakan tau bahwa Ibunda telah mencapai akhir hayat,
baru semenit selesai merenungkan kisah lalunya dan masa depannya Tuhanpun
menghadiakan kematian Ibundanya. Ibunda pun merangkul kepala Fatih dan mengecup
jidatnya memberikan senyum perpisahan terakhir, matanya yang anggun terpejam
untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali bercahaya.
Fatih pun memukul cermin hingga pecah dan
berkata: “Saat untuk membalasnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar