Rabu, 06 Mei 2015

My Name Is Riba (part 8)



 

Selamat Jalan Ibu
Sastrwan berpencar di mana-mana ketika titah raja telah menjadi hukum, kematian keluarga menjadi ancaman bagi mereka. Fatih kembali menunda semua kesibukannya dalam menerbitkan karya-karya, Fatih memilih untuk bertahan di rumah dalam waktu cukup lama untuk menengangkan kondisi kerajaan yang sedang membersihkan kembali nama mereka yang dirusak melalui karya Fatih dan teman-temannya.

Hari itu di kala hujan deras turun membasahi Negeri Tazkia, rerumputan di halaman rumah yang gersang hampir sebulan lamanya seakan kembali bugar, katak-katak pun menari ria ketika dahaga mereka terpenui jua, pepohonan seolah tersenyum gembira tatkala hujan tiba. Dengan perut yang berdendang pertanda lapar, Ibunda tercinta dengan payung menutupi kepala berjalan menuju  rumah sambil membawah rantang makan, Ibunda pun mengetuk pintuk dan masuk rumah menghadrikan makanan  kesukaanku di kala hujan yaitu sop Ayam, sungguh lezatnya sop itu mengingatkanku pada masa kecilku ketika sakit demam menerjang Ibu memberikan aku sop untuk menyembuhkan sakitku. Tapi apakah hari ini telah ku temukan peneduh di kala sakit jika nanti Ibunda telah tiada, apakah penawar terbaik untuk tetap membuat tersenyum meski di ancam untuk di bunuh, masih adakah wanita yang tetap setia memberikanku asupan pelukan di kala hujan tiba, adakah wanita hebat yang mampu membuatku tetap tersenyum di kala dia telah pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali. 

Sambil menatap sop Ayam dengan perenungan panjang, Ibunda tercinta dengan pekanya membaca raut wajahku yang begitu keras berpikir, Ibunda seolah tau bahwa anaknya sedang merenungi masa depannya, masa depannya cintanya masa depan bahagianya.

Ibu: apa yang engkau pikirkan wahai lelaki jagoan Ibu
Fatih: tak ada Bu, sedang menganalisa saja apakah sopnya kurang garam atau tidak
Ibu: anaku, anaku Ibu telah lama bersamamu Ibu tau jikalau engkau berpikir kening kiri dan kananmu bertemu, raut wajahmu telah Ibu mengerti bahwa engkau sedang berpikir.
Fatih: Aku hanya berpikir jikalau Ibunda mati nanti, siapakah wanita selain Ibu yang mampu membuatku tetap terseyum sampai nyawa tak lagi bertinta.
Ibunda beranjak meninggal pembicaraan dan mengambil sesuatu yang berada di dalam kamar

“ Nak ini adalah pena keturunan dari keluarga kita, di jaman Tazkia ketika berjaya Buyut kita adalah seorang sastrawan termasyur saat itu, bahkan ketika para raja terluka hatinya, hanya dibutuhkan syair satu baris dari kakekmu cukup untuk membuat mereka tersenyum kembali, pergilah ke perpustakan Al-Hamra makaa akan engkau temui syair-syair perang dan cinta-cinta tauhida Buyutmu, tak banyak orang tau siapa kakekmu, tapi yang jelas para Intelk dan satrawan tau siapa kakek buyutmu itu, dan tahukahkanmu,Ayahmu bukanlah seorang yang kaya, Ayahmu adalah seorang pengusaha akan tetapi pemikiran sastra lebih tajam dari pada profesinya, karena dalam diri Ayahmu mengalir jiwa sastra, karena sungguh kakekmu telah menulis doa ketika perang merebut Benua ini hendak dimulai  dia ingin meski kakekmu itu telah meninggal ia berharap dalam doanya agar darah sastrawan dan intelk mengalir dan terwariskan kepada generasi selanjutnya. Dan tahukah kamu mengapa Ibu tetap mencintai Ayahmu, mengapa meski Ayah telah tiada ketika Ibu dalam kesakitan yang pahit ini karena Bapakmu melamar ibu dengan mahar pena Warisan kakeknya, dengan pena ini pertanda bahwa Ayahmu penuh kesungguhan dan yakin didalamnya terwariskan jiwa sastra itu, Ibu yakin sayap-sayap cinta saat ini telah di patahkan dengan kematian Ayahmu. jika di tanya apa mahar termahal yang bisa engkau wariskan, katakan pena ini, jangan pernah jelaskan sejarah pena ini, jika pena itu cukup bernyawa cinta, maka calon Isterimu akan merasakan nyawa sejarah itu. Tapi bunda, jawab Fatih, dengan senyuman itu bunda pun meyakinkan keraguan Fatih”.
Ibunda Bunda terduduk di lemah dan pucat di bangku itu dan berkata: Hanya Isterilah yang akan menjadi pengganti Ibu selanjutnya, jika dia mencintaimu maka nyawa Ibu akan menyatu denganya, jika pena ini cukup membuat terpana tanpa sejarah yang engkau sampai maka dialah jodohmu.

Dan hari yang begitu bersejarah, Ibunda pun tergelatak jatuh dengan mulut yang berbusa-busa, Ibu terjatuh dari bangku  yang ia duduki, dengan badan yang tergeletak lemah dan kejang-kejang di tubuhnya seperti ayam yang hendak berontak ketika di sembelih. Fatih menatap dengan sedih sambil menaruh kepala Ibunda di pahanya, Fatih tak besuara lebih seakan tau bahwa Ibunda telah mencapai akhir hayat, baru semenit selesai merenungkan kisah lalunya dan masa depannya Tuhanpun menghadiakan kematian Ibundanya. Ibunda pun merangkul kepala Fatih dan mengecup jidatnya memberikan senyum perpisahan terakhir, matanya yang anggun terpejam untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali bercahaya.

Fatih pun memukul cermin hingga pecah dan berkata: “Saat untuk membalasnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar