13 tahun di Al-Hamra belajar agama dan sastra.
Membuat kematangan berpikirnya semakin terukir.
Masa muda yang penuh dengan karya, bekerja
sebagai jurnalis dan penulis, Fatih banyak menulis tentang cara pandang islam
tentang riba, serta buku-buku yang mengkritik habis Raja Alim dan Gubernur
Manaf. Gaya pemberontakan era baru, Fatih mendirikan organisasi sastra yang di
kelilingi para cerdas Al-hamra dan pemuda-pemuda Tazkia yang senasib dengan
Fatih di tinggal mati Ayahnya pasca berperang melawan negara sendiri.
Organisasi ini berjalan dengan pesat, hanya
membutuhkan 2 tahun untuk mengeluarkan karya-karya terbaik mereka,
memberitahukan kepada seluruh rakyat bahwa inilah negara kita, negara yang
manis di luar tapi pahit menusuk di dalam, mereka menulis karya-karya yang
membongkar semua Aib kerajaan, membocorkan pengeluaran negara yang sangatlah boros, mengatakan bahwa raja
Mahmuda hanyalah raja rakus yang
akanmenghabiskan harta karun peninggalan kakeknya. Raja gemuk dan bodoh
yang hanya mandi susu bersama
keluarganya untuk menghabiskan keuangan Negara. Sementara rakyat menderita
lapar dan penyakit. Membongkar semua kebusukan pembangunan patung monumen dan pembagian
bonus yang hanya akan menghancurkan negara secara perlahan. Hanya butuh sekejap
dapat membuat suasana pemerintahan Bani Mahmuda tergoncang hebat, terkapar
tercengang, seolah ada virus baru yang memporakporanda kesenangan raja rakus.
Hanya perlu waktu tak banyak untuk meruntuhkan Hamdan Manaf dan memaksa Raja
Mahmuda untuk sadar akan posisinya.
Malam itu istana seolah heboh dan malu ketika
melihat banyak karya sastra yang telah beredar , nama raja dan Hamdan Manaf
telah rusak di 4 wilayah sekaligus.
Malam itu pun rapat di gelar.
Raja Alim: “Siapa yang berani-beraninya
membongkar semua aib kerajaan dan anggaranya haa”, padahal kita telah membuat rakyat senang agar
tak ada lagi yang mengganggu ketenagan kita. Ini saat kita menikmatinya setelah beberapa generasi melalui
perang panjang. Kalian semua, gubernur pemimpin 4 wilayah beserta kabinet. Cari
siapa pelakunya, bakar semua karya sastra itu, dan sewa semua sastrawan di
Al-hamra untuk meluruskan isu ini. jika masih ada lagi kiriman sastra
selanjutnya maka bunuh mereka.” Palu pun di ketuk sudah, sebagai tanda bahwa
titah raja telah menjadi hukum permanen.
Mengetahui kejadian, Fatih dan para sastrawan
lainnya, berpencar dan bersembunyi menjaga keluarga mereka, karena mereka yakin
bahwa intel raja sangatlah banyak yang
dapat mengancam keselamatan mereka. Sebulan sudah semenjak karya sastra
mereka mengguncang kerajaan, kembali mereka menulis untuk membocorkan korupsi
yang raja lakukan serta bisnis kotor
yang di lakukan Raja dan Hamdan Manaf yang mengakibatkan raja Alim tak mau
melepaskan jabatan Hamdan meski telah mengalami kekacauan karena uang rakyat di
putar dengan sistem riba ternyata di fungsikan untuk bisnis mereka.
Raja terus
melahap habis kekayaan alam di jual terus menerus menunggu harga kemudian
menjualnya dengan harga berlipat-lipat beserta bunga untuk setiap tanah
kerajaan, jika lahanya telah
menghasilkan maka rakyat wajib memberikan 60% kepada kerajaan dan 20% kepada
Hamdan sebagai pemimpin Bisnis itu.
Dan
ketika Rakyat pun mengetahui semua, bencana pun tiba.